APA ITU SYARI’AH, TAREKAT, HAKIKAT DAN MAKRIFAT ?
Sebuah
tela’ah ringan.
Di zaman saat ini seorang muslim terkadang telah dipusingkan atau dikotak-kotak dalam perbedaan antara Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Sebenarnya apa itu semua, apakah itu sebuah kajian akademik ataukah sebuah dogma.
Di zaman saat ini seorang muslim terkadang telah dipusingkan atau dikotak-kotak dalam perbedaan antara Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Sebenarnya apa itu semua, apakah itu sebuah kajian akademik ataukah sebuah dogma.
- Syariat Islam adalah hukum dan
aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain
berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah
seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam
merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup
manusia dan kehidupan dunia ini. Sumber syariat adalah Al-Qur’an,
As-Sunnah.
- Tarekat (Bahasa Arab: طرق,
transliterasi: Tariqah) berarti “jalan” atau “metode”, dan
mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme/ mistisme Islam. Di
zaman sekarang ini, tarekat merupakan jalan (pengajian) yang mengajak ke
jalan Ilahiyah dengan cara suluk (taqarrub) yang biasanya dilakukan oleh
salik.
- Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti
kebenaran atau yang benar-benar ada. Yang berasal dari kata
hak (al-Haq), yang berarti milik (kepunyaan) atau benar
(kebenaran). kata Haq, secara khusus oleh orang-orang sufi sering
digunakan sebagai istilah untuk Allah, sebagai pokok (sumber) dari segala
kebenaran, sedangkan yang berlawanan dengan itu semuanya disebut batil (yang
tidak benar).
- Makrifat berarti pengetahuan yang hakiki
tentang Ilahiyah. Dengan orang menjalankan Syari’at, masuk Tarekat,
kemudian ber-Hakikat untuk mendapatkan Makrifatullah sehingga menjadi
hamba yang selalu mendekatkan diri setiap detik hanya ke Allah.
Lantas
bagaimana jalannya
Seharusnya
orang yang mengaku ber-Tarekat, ber-Hakikat dan ber-Makrifat harus berada
didalam Syari’at. seharusnya perjalan spritual berasal dari Makrifat yang
berarti berpengetahuan meluas dalam memahami Islam baik dalam Al-Qur’an, Hadis,
Usul Fiqih, Balaghoh, ‘Ard, dan Bahasa. Dengan keluasan makrifat orang akan
mendapat Hakikat Ilahiyah yang melahirkan gerakan tarekat dan berujung pada
inti Islam yang tidak lain Syari’at.
Perjalan Nabi Muhammad Saw dimulai
dari ma’rifat, tarekat, hakikat dan akhirnya sampai pada syariat. Makrifat
adalah bertemu dan mencairnya kebenaran yang hakiki: yang disimbolkan saat
Muhammad saw bertemu jibril, hakikat saat dia mencoba untuk merenungkan
berbagai perintah untuk iqra, tarekat saat muhammad saw berjuang untuk
menegakkan jalannya dan syariat adalah saat muhammad saw mendapat perintah
untuk sholat saat isra mikraj yang merupakan puncak pendakian tertinggi yang
harus dilaksanakan oleh umat muslim.
Munculnya
istilah Tarekat, Hakikat, dan Makrifat dalam akademisi kajian Islam jauh
setelah wafatnya Rasulullah Saw sekitar abad 5 Hijriyah. Sekitar zaman Hujjatul
Islam Syeh Imam Al-Ghazaly Asy-Syafi’i yang menyendiri dari kajian ilmiyah
(falsafah) setelah menulis Tahafut al-Falasifah. Kemuadian
Al-Ghazali menjadi Sufi Sejati dengan menulis kitab sufi Ihya
Ulumuddin. kemudian dunia Islam Timur Tengah tenggelam dalam sufi. Dan
kemajuan Islam hanya di daerah Mongol, Turki, dan Spanyol yang diprakarsai Ibn
Rusdi.
Tidak
seharusnya seorang muslim sejati mengkotak-kotakan ini Syari’ah, ini Tarekat,
ini Hakekat, ini Makrifat, karena yang berkata demikian hanyalah orang yang
tidak banyak mengetahui ke-ilmuan Islam secara holistik.
RAHASIA MAKRIFAT
Sangat
sulit menjelaskan hakikat dan makrifat kepada orang-orang yang mempelajari
agama hanya pada tataran Syariat saja, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist
akan tetapi tidak memiliki ruh dari pada Al-Qur’an itu sendiri. Padahal hakikat
dari Al-Qur’an itu adalah Nur Allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara,
dengan Nur itulah Rasulullah SAW memperoleh pengetahuan yang luar biasa dari
Allah SWT.
Hapalan
tetap lah hapalan dan itu tersimpan di otak yang dimensinya rendah tidak adakan
mampu menjangkau hakikat Allah, otak itu baharu sedangkan Allah itu adalah
Qadim sudah pasti Baharu tidak akan sampai kepada Qadim. Kalau anda cuma
belajar dari dalil dan mengharapkan bisa sampai kehadirat Allah dengan dalil
yang anda miliki maka PASTI anda tidak akan sampai kehadirat-Nya.
Ketika
anda tidak sampai kehadirat-Nya sudah pasti anda sangat heran dengan ucapan
orang-orang yang sudah bermakrifat, bisa berjumpa dengan Malaikat, berjumpa
dengan Rasulullah SAW dan melihat Allah SWT, dan anda menganggap itu sebuah
kebohongan dan sudah pasti anda mengumpulkan lagi puluhan bahkan ratusan dalil
untuk membantah ucapan para ahli makrifat tersebut dengan dalil yang menurut
anda sudah benar, padahal kadangkala dalil yang anda berikan justru sangat
mendukung ucapan para Ahli Makrifat cuma sayangnya matahati anda dibutakan oleh
hawa nafsu, dalam Al-Qur’an disebuat Khatamallahu ‘ala Qulubihim (Tertutup mata
hati mereka) itulah hijab yang menghalangi anda menuju Tuhan.
Rasulullah
SAW menggambarkan Ilmu hakikat dan makrifat itu sebagai “Haiatul Maknun”
artinya “Perhiasan yang sangat indah”. Sebagaimana hadist yang dibawakan oleh
Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya sebagian ilmu itu
ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang
tidak ada seoranpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka
menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa
lupa (tidak berzikir kepada Allah)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salamy).
Di
dalam hadist ini jelas ditegaskan menurut kata Nabi bahwa ada sebagian ilmu
yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali para Ulama Allah yakni Ulama yang
selalu Zikir kepada Allah dengan segala konsekwensinya. Ilmu tersebut sangat
indah laksana perhiasan dan tersimpan rapi yakni ilmu Thariqat yang didalamnya
terdapat amalan-amalan seperti Ilmu Latahif dan lain-lain.
Masih
ingat kita cerita nabi Musa dengan nabi Khidir yang pada akhir perjumpaan
mereka membangun sebuah rumah untuk anak yatim piatu untuk menjaga harta berupa
emas yang tersimpan dalam rumah, kalau rumah tersebut dibiarkan ambruk maka
emasnya akan dicuri oleh perampok, harta tersebut tidak lain adalah ilmu
hakikat dan makrifat yang sangat tinggi nilainya dan rumah yang dimaksud adalah
ilmu syariat yang harus tetap dijaga untuk membentengi agar tidak jatuh
ketangan yang tidak berhak.
Semakin
tegas lagi pengertian di atas dengan adanya hadist nabi yang diriwayatkan dari
Abu Hurairah sebagai berikut : “Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu,
pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian
manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak
diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti
“Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau
sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani).
Hadist
di atas sangat jelas jadi tidak perlu diuraikan lagi, dengan demikian barulah
kita sadar kenapa banyak orang yang tidak senang dengan Ilmu Thariqat? Karena
ilmu itu memang amat rahasia, sahabat nabi saja tidak diizinkan untuk
disampaikan secara umum, karena ilmu itu harus diturunkan dan mendapat izin
dari Nabi, dari nabi izin itu diteruskan kepada Khalifah nya terus kepada para
Aulia Allah sampai saat sekarang ini.
Jika
ilmu Hai’atil Maknun itu disebarkan kepada orang yang belum berbait zikir atau
“disucikan” sebagaimana telah firmankan dalam Al-Qur’an surat Al-‘Ala,
orang-orang yang cuma Ahli Syariat semata-mata, maka sudah barang tentu akan
timbul anggapan bahwa ilmu jenis kedua ini yakni Ilmu Thariqat, Hakikat dan
Ma’rifat adalah Bid’ah dlolalah.
Dan
mereka ini mempunyai I’tikqat bahwa ilmu yang kedua tersebut jelas diingkari
oleh syara’. Padahal tidak demikian, bahwa hakekat ilmu yang kedua itu tadi
justru merupakan intisari daripada ilmu yang pertama artinya ilmu Thariqat itu
intisari dari Ilmu Syari’at.
Oleh
karena itu jika anda ingin mengerti Thariqat, Hakekat dan Ma’rifat secara
mendalam maka sebaiknya anda berbai’at saja terlebih dahulu dengan Guru Mursyid
(Khalifah) yang ahli dan diberi izin dengan taslim dan tafwidh dan ridho. Jadi
tidak cukup hanya melihat tulisan buku-buku lalu mengingkari bahkan mungkin
mudah timbul prasangka jelek terhadap ahli thariqat.
Dalam
setiap peristiwa yang mewarnai kehidupan ini, seringkali kita tidak mampu atau
tidak mau menangkap kehadiran Allah dengan segala sifat-sifatNya. Padahal
sifat-sifat Allah sangat terkait erat dengan ayat-ayat kauniyahNya yang
terhampar di atas muka bumiNya. Betapa Allah –melalui ayat-ayat kauniyahNya-
memang ingin menunjukkan keMaha KuasaanNya dan keMaha BesaranNya agar
hamba-hambaNya senantiasa mawas diri, waspada dan berhati-hati dalam bertindak
dan berprilaku agar tidak mengundang turunnya sifat JalilahNya yang tidak akan
mampu dibendung, apalagi dilawan oleh siapapun, dengan upaya dan sarana kekuatan
apapun tanpa terkecuali, karena memang Allahlah satu-satunya pemilik kekuatan
dan kekuasaan terhadap seluruh makhlukNya.
Berdasarkan
pembacaan terhadap ayat-ayat Al Qur’an secara berurutan, terdapat paling tidak
empat ayat yang menyebut sifat-sifat Jamilah dan Jalilah Allah secara
berdampingan, yaitu: pertama, surah Al-Ma’idah [5]: 98, “Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. kedua, akhir surah Al-An’am [6]: 165, “Dan Dia
lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat
siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
ketiga, surah Ar-Ra’d [13]: 6, “Mereka meminta
kepadamu supaya disegerakan (datangnya) siksa, sebelum (mereka meminta)
kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum
mereka.Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi
manusia sekalipun mereka zalim, dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat
keras siksanya”. Dan keempat, surah Al-Hijr [15]: 49-50, “Kabarkanlah kepada
hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang, dan bahwa sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih”.
Pada masing-masing ayat di atas,
Allah menampilkan DiriNya dengan dua sifat yang saling berlawanan; Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang yang merupakan esensi dari sifat JamilahNya,
namun pada masa yang sama ditegaskan juga bahwa Allah amat keras dan pedih
siksaanNya yang merupakan cermin dari sifat JalilahNya. Menurut Ibnu Abbas r.a,
seorang tokoh terkemuka tafsir dari kalangan sahabat, ayat-ayat tersebut merupakan
ayat Al Qur’an yang sangat diharapkan oleh seluruh hamba Allah s.w.t. (Arja’
Ayatin fi KitabiLlah).
Karena
–menurut Ibnu Katsir- ayat-ayat ini akan melahirkan dua sikap yang benar secara
seimbang dari hamba-hamba Allah yang beriman, yaitu sikap harap terhadap
sifat-sifat Jamilah Allah dan sikap cemas serta khawatir akan ditimpa sifat
Jalilah Allah (Ar-Raja’ wal Khauf). Sementara Imam Al-Qurthubi memahami ayat
tentang sifat-sifat Allah swt semakna dengan hadits Rasulullah s.a.w. yang
menegaskan, “Sekiranya seorang mukmin mengetahui apa yang ada di sisi Allah
dari ancaman adzabNya, maka tidak ada seorangpun yang sangat berharap akan
mendapat surgaNya. Dan sekiranya seorang kafir mengetahui apa yang ada di sisi
Allah dari rahmatNya, maka tidak ada seorangpun yang berputus asa dari
rahmatNya”. ( HR. Muslim) Dalam konteks ini, Syekh Muhammad Mutawalli
Asy-Sya’rawi, seorang tokoh tafsir berkebangsaan Mesir mengelompokkan
sifat-sifat Allah yang banyak disebutkan oleh Al Qur’an kedalam dua kategori,
yaitu Sifat-sifat Jamilah dan Sifat-sifat Jalilah.
Kedua
sifat itu selalu disebutkan secara beriringan dan berdampingan. Tidak disebut
sifat-sifat Jamilah Allah, melainkan akan disebut setelahnya sifat-sifat
JalilahNya. Begitupula sebaliknya. Dan memang begitulah Sunnatul Qur’an selalu
menyebutkan segala sesuatu secara berlawanan; antara surga dan neraka, kelompok
yang dzalim dan kelompok yang baik, kebenaran dan kebathilan dan lain
sebagainya. Semuanya merupakan sebuah pilihan yang berada di tangan manusia,
karena manusia telah dianugerahi oleh Allah kemampuan untuk memilih, tentu
dengan konsekuensi dan pertanggung jawaban masing-masing. “Bukankah Kami telah
memberikan kepada (manusia) dua buah mata,. lidah dan dua buah bibir. Dan Kami
telah menunjukkan kepadanya dua jalan; petunjuk dan kesesatan”. (QS. Al-Balad:
8-10)
Sifat
Jalilah yang dimaksudkan oleh beliau adalah sifat-sifat yang menunjukkan
kekuasaan, kehebatan, cepatnya perhitungan Allah dan kerasnya ancaman serta
adzab Allah swt yang akan melahirkan sifat Al-Khauf (rasa takut, khawatir) pada
diri hamba-hambaNya. Manakala Sifat Jamilah adalah sifat-sifat yang menampilkan
Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih, Penyayang, Pengampun, Pemberi Rizki dan
sifat-sifat lainnya yang memang sangat dinanti-nantikan kehadirannya oleh
setiap hamba Allah swt tanpa terkecuali. Dan jika dibuat perbandingan antara
kedua sifat tersebut, maka sifat jamilah Allah jelas lebih banyak dan dominan
dibanding sifat jalilahNya.
Pada tataran Implementasinya,
pemahaman yang benar terhadap kedua sifat Allah tersebut bisa ditemukan dalam
sebuah hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. Anas
menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah bertakziah kepada seseorang yang akan
meninggal dunia. Ketika Rasulullah bertanya kepada orang itu, “Bagaimana kamu
mendapatkan dirimu sekarang?”, ia menjawab, “Aku dalam keadaan harap dan
cemas”. Mendengar jawaban laki-laki itu, Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah
berkumpul dalam diri seseorang dua perasaan ini, melainkan Allah akan
memberikan apa yang dia harapkan dan menenangkannya dari apa yang ia cemaskan”.
(HR. At Tirmidzi dan Nasa’i).
Sahabat
Abdullah bin Umar ra seperti dinukil oleh Ibnu Katsir memberikan kesaksian
bahwa orang yang dimaksud oleh ayat-ayat di atas adalah Utsman bin Affan ra. Kesaksian
Ibnu Umar tersebut terbukti dari pribadi Utsman bahwa ia termasuk sahabat yang
paling banyak bacaan Al Qur’an dan sholat malamnya. Sampai Abu Ubaidah
meriwayatkan bahwa Utsman terkadang mengkhatamkan bacaan Al Qur’an dalam satu
rakaat dari sholat malamnya. Sungguh satu tingkat kewaspadaan hamba Allah yang
tertinggi bahwa ia senantiasa khawatir dan cemas akan murka dan ancaman adzab
Allah swt dengan terus meningkatkan kualitas dan kuantitas pengabdian
kepadaNya. Disamping tetap mengharapkan rahmat Allah melalui amal sholehnya.
Betapa
peringatan dan cobaan Allah justru datang saat kita lalai, saat kita terpesona
dengan tarikan dunia dan saat kita tidak menghiraukan ajaran-ajaranNya, agar
kita semakin menyadari akan keberadaan sifat-sifat Allah yang Jalillah maupun
yang Jamilah untuk selanjutnya perasaan harap dan cemas itu terimplementasi
dalam kehidupan sehari-hari. Boleh jadi saat ini Allah masih berkenan hadir
dengan sifat JamilahNya dalam kehidupan kita karena kasih sayangNya yang besar,
namun tidak tertutup kemungkinan karena dosa dan kemaksiatan yang selalu
mendominasi perilaku kita maka yang akan hadir justru sifat JalilahNya.
Na’udzu
biLlah. Memang hanya orang-orang yang selalu waspada yang mampu mengambil
hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi. Saatnya kita lebih
mawas diri dan meningkatkan kewaspadaan dalam segala bentuknya agar terhindar
dari sifat Jalilah Allah swt dan senatiasa meraih sifat jamilahNya. Dan itulah
tipologi manusia yang dipuji oleh Allah dalam firmanNya yang bermaksud,
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia senantiasa
cemas dan khawatir akan (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran”. (QS. Az-Zumar [39]: 9)
Semoga kasih sayang Allah yang
merupakan cermin dari sifat JamilahNya senantiasa mewarnai kehidupan ini dan
menjadikannya sarat dengan kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan lahir dan
bathin. Dan pada masa yang sama, Allah berkenan menjauhkan bangsa ini dari
sifat JalilahNya yang tidak mungkin dapat dibendung dengan kekuatan apapun
karena memang mayoritas umat ini mampu merealisasikan nilai iman dan takwa
dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hai Sobat Bloggerrr.....???!!!
Jika sudah membaca artikel Saya,
Jangan lupa tinggalkan komentar , yahh...???
Terimakasih ^_^ .